Kamis, 26 Februari 2015

Dibalik Masa Lalu

“Cita,makan dulu baru on-line!!”,teriakan itu membuat telingaku panas. 

Aku memang susah sekali untuk makan,bahkan aku malas untuk makan. Aku bosan mendengar teriakan Ayah yang setiap pulang sekolah selalu menyuruhku makan,meskipun aku sudah makan di sekolah. Semenjak kepergian Ibu dan Kakakku, kini Ayah lebih protektif terhadapku. Entah,semenjak saat itu semua sikap Ayah berubah.

“Cita,cepet makan dulu. udah badan kurus,susah makan hobinya on-line mau jadi apa kamu?” lagi – lagi papa berteriak dari lantai bawah.
“Iya pa, Cita makan tapi nanti ya naggung nih” ,jawabku santai.

“Apa kamu bilang? Nanti? Mau papa cabut wifinya? Atau uang saku kamu papa kurangin selama 3 bulan? Oke,oke gak masalah” balas papa dengan ancam.

Jlebb,hah? Wifi dicabut? Uang saku dikurangin selama 3 bulan? NO! teriakku dalam hati. Aku bergegas turun dan meninggalkan laptop yang menyala sendirian.

“Gilirian uang saku dikurangin aja turun. Coba mbok ya makan Cit,kamu ini udah kurus gak mau makan,huh!”,kata papa mengomeliku lagi.

Hari – hariku memang seperti ini,dilukiskan dengan berbagai omelan papa yang mengesalkan. Aku tau papa sangat peduli denganku,apalagi ketika setahun lalu aku masuk rumah sakit dan Ibu serta Kakakku juga ikut dipanggil. Papa selalu saja memberikan apa yang kuinginkan. Kami merupakan orang yang berada,tetapi kami tak pernah tinggi hati.

“Pa,udah dulu ya makannya segini aja aku mau pergi”,kataku sambil mebereskan makanan yang kusisakan.

“CITA!!!”,teriak papa lagi dan lagi

“Aduh,papa jangan teriak – teriak ntar darah tingginya naik lagi kan Cita yang repot”,balasku dengan lelucon yang membuat papa malah memarahiku.

“Cit,kamu ini bikin papa marah terus ya. Bentar – bentar keluar,bentar – bentar ke tempat temen. Pergi terus ya,awas kamu kalo pulang gak papa bukain pintu”

“Pa, ya papa jangan gitu dong Cita kan cuman bercanda. Daaa papa,smile jangan cemberut”,pamitku pada papa sambil mencium tangannya aku meninggalkannya.

Selama ini papa tidak pernah tau kalau aku pergi ke “PERJACIL”. Perjacil adalah singakatan Perpusatkaan Jalan Cilik. Aku bersama 2 orang sahabatku Rena dan Eki membangunnya untuk anak – anak jalanan yang tidak bersekolah. 

Kami sudah mebangun Perjacil sejak kelas 1 SMA dan kami sudah 3 SMA. Hampir 2 tahun kami mendirikan dan aku sangat bersyukur banyak anak – anak jalanan yang mau membaca dan belajar di Perjacil.

Memang awalnya banyak penduduk yang tidak setuju jika kami membangun perjacil di area kampong mereka,dengan alasan memakan tempat. Tetapi lambat laun mereka mau menerimanya karena anak – anak mereka sendirilah yang menginginkan.

“Mbak Ita,aku udah bisa bikin ini loh. Bagus gak mbak? Kira – kira dijual harganya berapa ya? Aku pengen bantu Ibu nih mbak”, tanya Devi seorang anak penjual koran yang menginginkan Perjacil.

“Ih lucu banget Dev,mbak diajarin dong. Ini mungkin sekitar 10.000 sampai 20.000 dev,lumayan gede loh”, kataku dengan penuh harapan.

“  Yang bener mbak? Wah aku jadi semangat nih pengen bikin banyak”,kata Devi dengan semangat.

Devi sebenarnya sudah kelas 2 SMP namun karena orang tuanya tidak mampu ia memutuskan berjualan koran. Devi sangat senang membuat pot dari botol,tirai – tirai dan barang lucu dari sisa pembuangan. Aku berkeinginan menyekolahkan Devi,tetapi danaku belum cukup. Minta dari Papa? Papa tak lagi mempercayaiku untuk memegang uang yang cukup besar karena dulu aku sering berfoya – foya.

Tetapi setelah  kejadian itu,aku jatuh sakit karena diriku tak terkontrol. Hampir 2 minggu aku di rumah sakit karena tak mengurus diriku dengan baik. Dari situlah aku menyesal dan tak ingin hal itu terjadi lagi. Aku sadar banyak yang membutuhkan uang,tetapi aku membuangnya.

“Re,Ki gimana nih aku pengen banget nyekolahin salah satu anak Perjacil. Yah kamu taulah siapa orangnya” tanyaku gelisah pada Rena dan Eki.

“Lah yaudah kamu tinggal bilang aja ke Papamu kalo sebenarnya punya Perjacil,terus kamu pengen nyekolahin Devi”,kata Eki santai.

“Duh, Ki kamu kan tau papaku gimana udah keras kayak gitu. Sekeras kerasnya batu dipecahin juga bakal pecah,lah papaku? Susah Ki”, balasku lagi.

“Ini nih jeleknya Cita,belum nyoba udah nyerah. Tinggal bilang sejujurnya aja kan bisa”, sambung Rena.

“Ya udahlah terserah kalian,tapi kalian bantuin aku ya ini buat Devi juga kok”.

Rena dan Eki mengisyaratkan kalau akan membantuku.

***
Ketika aku dijalan pulang hpku bergetar.

“PING!” BBM dari hpku berbunyi tetapi tak kuherankan.

“PING!” kedua kalinya

“PING ! PING !”, kali ini aku tak bisa menolak terpaksa aku buka,belum sempat aku membalas ternyata ada pesan lagi

“Cita sayang, papa gak pernah marah kalau kamu berbuat seperti itu. Papa bersyukur kamu sudah berubah. Oh iya udah papa transfer 10 juta buat sekolah Devi. Titip salam ya buat Devi,tetap semnagat buat karya dari botolnya. Love you Cicit”


Sontak aku terkejut dan hampir saja hpku terpental karena kagetku yang berlebihan. Ternyata BBM itu dari papa, ulah Rena dan Eki membuatku sedikit menyesal. Belum saja aku memberitahu tentang Perjacil, Rena dan Eki mendahuluiku,arggh!!. Aku senang karena akhirnya papa percaya lagi kepadaku. Ini berkat Rena dan Eki juga hingga papa percaya lagi. 

Yang dikatakan Rena itu benar, jangan menyerah sebelum mencoba.Dibalik masa lalu terlukis berbagai cerita untuk merangkai hal baru dan yang baik. Kasih dari orang yang kita cintai tak pernah lepas merestui langkah kita melakukan hal baik. 


#mikichan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar