“Cita,makan dulu baru on-line!!”,teriakan itu
membuat telingaku panas.
Aku memang susah sekali untuk makan,bahkan aku malas
untuk makan. Aku bosan mendengar teriakan Ayah yang setiap pulang sekolah
selalu menyuruhku makan,meskipun aku sudah makan di sekolah. Semenjak kepergian
Ibu dan Kakakku, kini Ayah lebih protektif terhadapku. Entah,semenjak saat itu
semua sikap Ayah berubah.
“Cita,cepet makan dulu. udah badan kurus,susah makan
hobinya on-line mau jadi apa kamu?” lagi – lagi papa berteriak dari lantai
bawah.
“Iya pa, Cita makan tapi nanti ya naggung nih”
,jawabku santai.
“Apa kamu bilang? Nanti? Mau papa cabut wifinya?
Atau uang saku kamu papa kurangin selama 3 bulan? Oke,oke gak masalah” balas
papa dengan ancam.
Jlebb,hah? Wifi dicabut? Uang saku dikurangin selama
3 bulan? NO! teriakku dalam hati. Aku bergegas turun dan meninggalkan laptop
yang menyala sendirian.
“Gilirian uang saku dikurangin aja turun. Coba mbok
ya makan Cit,kamu ini udah kurus gak mau makan,huh!”,kata papa mengomeliku
lagi.
Hari – hariku memang seperti ini,dilukiskan dengan
berbagai omelan papa yang mengesalkan. Aku tau papa sangat peduli
denganku,apalagi ketika setahun lalu aku masuk rumah sakit dan Ibu serta
Kakakku juga ikut dipanggil. Papa selalu saja memberikan apa yang kuinginkan.
Kami merupakan orang yang berada,tetapi kami tak pernah tinggi hati.
“Pa,udah dulu ya makannya segini aja aku mau
pergi”,kataku sambil mebereskan makanan yang kusisakan.
“CITA!!!”,teriak papa lagi dan lagi
“Aduh,papa jangan teriak – teriak ntar darah
tingginya naik lagi kan Cita yang repot”,balasku dengan lelucon yang membuat
papa malah memarahiku.
“Cit,kamu ini bikin papa marah terus ya. Bentar –
bentar keluar,bentar – bentar ke tempat temen. Pergi terus ya,awas kamu kalo
pulang gak papa bukain pintu”
“Pa, ya papa jangan gitu dong Cita kan cuman
bercanda. Daaa papa,smile jangan cemberut”,pamitku pada papa sambil mencium
tangannya aku meninggalkannya.
Selama ini papa tidak pernah tau kalau aku pergi ke
“PERJACIL”. Perjacil adalah singakatan Perpusatkaan Jalan Cilik. Aku bersama 2
orang sahabatku Rena dan Eki membangunnya untuk anak – anak jalanan yang tidak
bersekolah.
Kami sudah mebangun Perjacil sejak kelas 1 SMA dan kami sudah 3
SMA. Hampir 2 tahun kami mendirikan dan aku sangat bersyukur banyak anak – anak
jalanan yang mau membaca dan belajar di Perjacil.
Memang
awalnya banyak penduduk yang tidak setuju jika kami membangun perjacil di area
kampong mereka,dengan alasan memakan tempat. Tetapi lambat laun mereka mau
menerimanya karena anak – anak mereka sendirilah yang menginginkan.
“Mbak Ita,aku udah bisa bikin ini loh. Bagus gak
mbak? Kira – kira dijual harganya berapa ya? Aku pengen bantu Ibu nih mbak”,
tanya Devi seorang anak penjual koran yang menginginkan Perjacil.
“Ih lucu banget Dev,mbak diajarin dong. Ini mungkin
sekitar 10.000 sampai 20.000 dev,lumayan gede loh”, kataku dengan penuh
harapan.
“ Yang bener
mbak? Wah aku jadi semangat nih pengen bikin banyak”,kata Devi dengan semangat.
Devi sebenarnya sudah kelas 2 SMP namun karena orang
tuanya tidak mampu ia memutuskan berjualan koran. Devi sangat senang membuat
pot dari botol,tirai – tirai dan barang lucu dari sisa pembuangan. Aku
berkeinginan menyekolahkan Devi,tetapi danaku belum cukup. Minta dari Papa?
Papa tak lagi mempercayaiku untuk memegang uang yang cukup besar karena dulu
aku sering berfoya – foya.
Tetapi setelah kejadian itu,aku jatuh sakit karena diriku tak
terkontrol. Hampir 2 minggu aku di rumah sakit karena tak mengurus diriku
dengan baik. Dari situlah aku menyesal dan tak ingin hal itu terjadi lagi. Aku
sadar banyak yang membutuhkan uang,tetapi aku membuangnya.
“Re,Ki gimana nih aku pengen banget nyekolahin salah
satu anak Perjacil. Yah kamu taulah siapa orangnya” tanyaku gelisah pada Rena
dan Eki.
“Lah yaudah kamu tinggal bilang aja ke Papamu kalo
sebenarnya punya Perjacil,terus kamu pengen nyekolahin Devi”,kata Eki santai.
“Duh, Ki kamu kan tau papaku gimana udah keras kayak
gitu. Sekeras kerasnya batu dipecahin juga bakal pecah,lah papaku? Susah Ki”,
balasku lagi.
“Ini nih jeleknya Cita,belum nyoba udah nyerah.
Tinggal bilang sejujurnya aja kan bisa”, sambung Rena.
“Ya udahlah terserah kalian,tapi kalian bantuin aku
ya ini buat Devi juga kok”.
Rena dan Eki mengisyaratkan kalau akan membantuku.
***
Ketika aku dijalan pulang hpku bergetar.
“PING!” BBM dari hpku berbunyi tetapi tak
kuherankan.
“PING!” kedua kalinya
“PING ! PING !”, kali ini aku tak bisa menolak
terpaksa aku buka,belum sempat aku membalas ternyata ada pesan lagi
“Cita sayang, papa gak pernah marah kalau kamu
berbuat seperti itu. Papa bersyukur kamu sudah berubah. Oh iya udah papa
transfer 10 juta buat sekolah Devi. Titip salam ya buat Devi,tetap semnagat
buat karya dari botolnya. Love you Cicit”
Sontak aku terkejut dan hampir saja hpku terpental
karena kagetku yang berlebihan. Ternyata BBM itu dari papa, ulah Rena dan Eki
membuatku sedikit menyesal. Belum saja aku memberitahu tentang Perjacil, Rena
dan Eki mendahuluiku,arggh!!. Aku senang karena akhirnya papa percaya lagi
kepadaku. Ini berkat Rena dan Eki juga hingga papa percaya lagi.
Yang dikatakan
Rena itu benar, jangan menyerah sebelum mencoba.Dibalik masa lalu terlukis
berbagai cerita untuk merangkai hal baru dan yang baik. Kasih dari orang yang
kita cintai tak pernah lepas merestui langkah kita melakukan hal baik.
#mikichan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar